Notification

×
Copyright © Best Viral Premium Blogger Templates

Iklan Beranda

Ketika Hutan Hijau Dihabisi di Atas Meja Hijau: Ironi Hukum dalam Kasus 11 Masyarakat Adat Maba Sangaji

Saturday, 18 October 2025 | 13:28 WIB Last Updated 2025-10-18T04:28:36Z

 


Oleh : Madyatama SY. Failisa 


Lihatlah bagaimana sebelas masyarakat adat di Maba yang hanya berani menjaga hutan dari kerak rakus perusahaan  justru dianggap pembuat onar oleh negara yang konon “berdaulat atas rakyat”. Ironis, sebab di negeri ini, berbuat baik tanpa izin bisa lebih berbahaya ketimbang merusak alam dengan tanda tangan pejabat. 


Kita boleh menyebutnya sebagai “otokratik legalisme versi tropis”, di mana hukum tampak sibuk menegakkan aturan, tapi sesungguhnya menunduk pada kekuasaan. 


Para hakim berargumen atas nama prosedur, padahal yang sedang mereka lindungi bukan kepastian hukum, melainkan kepastian ekonomi segelintir orang. Dan ironinya, ketika rakyat menggunakan cara-cara adat, spiritual, dan moral untuk membela tanahnya, negara menuntut mereka untuk “menempuh jalur hukum”. Pertanyaannya: jalur hukum yang mana? Jalur yang sudah lama dibeton oleh kepentingan modal?


Sarkasme sejarah terletak di sini: hukum dibuat untuk melindungi manusia, tapi manusia kini harus minta izin pada hukum untuk tetap menjadi manusia. Mereka yang  menanam, berdoa, dan menjaga hutan ditanya: “Apakah Anda sudah mendaftarkan kepedulian, anda ke pengadilan negeri?” Kalau belum, maka peduli dianggap pelanggaran; cinta pada alam dicap kejahatan. Inilah absurditas hukum yang sedang kita hadapi 


hukum yang terlalu rasional untuk memahami kesetiaan, dan terlalu birokratis untuk mengenal nurani. Vonis terhadap sebelas masyarakat adat Maba bukan sekadar kekeliruan yuridis, tapi simptom penyakit lama: bahwa dalam sistem hukum kita, “keadilan” hanya berlaku bila tidak mengganggu kenyamanan penguasa.


Ketika Jalur Hukum Menjadi Jalan Buntu: Ironi “Aktivis yang Tidak Diakui” oleh 

Negara dalam ruang sidang yang seharusnya menjadi altar keadilan, ke-11 masyarakat adat Maba Sangaji justru diseret dengan tuduhan yang absurd: mereka dianggap bukan aktivis lingkungan hidup karena “tidak menempuh jalur hukum.” Begitulah bunyi dalih pengadilan - kalimat yang begitu steril dari nurani, namun basah oleh formalitas yang kaku. Seolah cinta pada hutan harus terlebih dahulu dilegalisir di depan notaris, dan kepedulian terhadap sungai harus melewati meja birokrasi. 


Dalih semacam itu bukan hanya dangkal secara hukum, tetapi juga memalukan secara moral. Ia menunjukkan bagaimana negara kini memonopoli hak untuk menentukan siapa yang boleh peduli. Jika engkau memperjuangkan alam dengan laporan tertulis dan konferensi pers, negara menyebutmu aktivis. Tapi jika engkau memperjuangkannya dengan doa, ritual, dan tenda di hutan adat, negara menyebutmu pengganggu ketertiban. Inilah paradoks besar dalam sistem hukum yang kehilangan empatinya — bahwa keberpihakan pada bumi kini membutuhkan surat izin. Padahal, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 119/PUU-XXIII/2025 telah menegaskan bahwa “setiap orang” yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Ini ditegaskan secara eksplisit dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH): 

“Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.” 


Putusan MK ini tidak sekadar melindungi, tapi juga memperluas horizon moral hukum lingkungan di Indonesia. Penulis berpendapat bahwa dalam putusan perkara ini, MK dapat dijuluki sebagai “peradilan konstitusi yang hijau” (green constitutional court) — sebuah lembaga yang berani berdiri di sisi rakyat dan bumi. Hakim konstitusi dalam perkara ini telah menempatkan dirinya sebagai “wali lingkungan”, dan menerapkan prinsip in dubio pro natura  — ketika terdapat keragu-raguan, maka yang harus diutamakan adalah kepentingan publik dan lingkungan hidup, bukan kepentingan prosedural atau korporasi.


Prinsip ini mengandung makna filosofis yang mendalam: bahwa hukum bukanlah pagar bagi kepastian, tetapi naungan bagi kehidupan. Maka, dalam keraguan hukum, keberpihakan harus jatuh pada bumi, bukan pada modal. Dengan begitu, hak konstitusional warga untuk memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak boleh dibatasi oleh prosedur, definisi, atau syarat administratif. Semestinya, hakim pada peradilan lainnya pun menempatkan dirinya sebagai “wali lingkungan”, agar keadilan ekologis benar-benar tercermin dalam putusan-putusan pengadilan yang berjiwa hijau — bukan sekadar “legal”, tapi beradab  terhadap alam.


Namun ironinya, pengadilan yang mengadili kasus Maba Sangaji justru bergerak ke arah sebaliknya. Alih-alih menerjemahkan semangat konstitusional MK, hakim di tingkat sosial dan peradilan umum terjebak dalam formalitas positivistik yang steril. Mereka menutup mata terhadap dimensi ekologis dan kultural, lalu menyederhanakan perjuangan rakyat menjadi tindak pidana.


Di sinilah otokratik legalisme menunjukkan wajah aslinya — hukum tampak hidup, tapi sebenarnya sedang bersekongkol dengan kekuasaan untuk menundukkan kebenaran. 


MK sudah menyalakan lentera hijau di tengah gelapnya sistem hukum; sayangnya, lentera itu padam di tangan para hakim biasa. Ketika MK berbicara tentang keadilan ekologis, pengadilan sosial masih sibuk memelihara prosedur administratif. Ketika MK menegaskan prinsip partisipasi publik, pengadilan justru mengkriminalisasi rakyat yang melaksanakan partisipasi itu dengan caranya sendiri. Inilah tragedi hukum yang menegaskan betapa negara lebih takut pada warganya yang sadar, daripada pada korporasi yang serakah. Maka, persoalannya bukan lagi sekadar beda tafsir, melainkan pembangkangan yudisial terhadap amanat konstitusi. 


Putusan MK menegaskan ruang perlindungan; putusan pengadilan merobeknya. Dan di antara dua kutub itulah, 11 masyarakat adat Maba Sangaji dipaksa memikul beban hukum yang bahkan tak mereka ciptakan. Seolah mereka bukan warga negara yang dijamin haknya oleh konstitusi, melainkan objek yang harus diatur, dibungkam, dan dilupakan. 


Pengadilan seperti ini lupa bahwa keadilan bukan hanya tentang hukum, tapi tentang hubungan manusia dengan bumi dan sesamanya. Masyarakat adat Maba Sangaji tidak menulis gugatan, tetapi mereka menulis sejarah. Mereka tidak bicara dengan bahasa Latin hukum, tetapi dengan bahasa air, batu, dan pohon — bahasa yang lebih tua daripada republik ini sendiri. Dan ketika negara menghukum mereka, sejatinya negara sedang menghukum dirinya sendiri — sebab yang hilang bukan hanya hutan, tetapi juga legitimasi moralnya.


Lebih ironis lagi, para hakim itu seolah lupa bahwa MK telah mengajarkan prinsip in dubio pro natura — dalam keraguan, berpihaklah pada alam. Tapi yang mereka pilih justru in dubio pro kekuasaan — dalam keraguan, berpihaklah pada penguasa.


Ketika Negara Belajar dari Selatan: Māori, Tanah, dan Martabat yang Diakui


Di ujung selatan dunia, di negeri yang oleh penjajah dulu disebut “tanah awan putih panjang” — Aotearoa, Selandia Baru — sejarah masyarakat adat tidak kalah getir dibanding di Indonesia. Suku Māori pernah dipinggirkan, tanah mereka dirampas, budaya mereka diperlakukan sebagai folkor. Namun perbedaan besarnya adalah: negara mereka akhirnya belajar untuk meminta maaf dan memperbaiki diri. 


Pada tahun 1975, Selandia Baru membentuk Waitangi Tribunal, sebuah lembaga hukum semi - yudisial yang bertugas menangani pelanggaran terhadap Treaty of Waitangi — perjanjian antara kerajaan Inggris dan suku-suku Māori tahun 1840. Lembaga ini tidak hanya memeriksa, tapi juga mengakui bahwa tanah, sungai, dan gunung adalah entitas yang memiliki hak hidup, bukan sekadar objek ekonomi.


Keputusan paling monumental muncul pada tahun 2017, ketika Parlemen Selandia Baru mengesahkan undang-undang yang menetapkan Sungai Whanganui (Te Awa Tupua) sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan martabat sendiri — diakui sebagai “living entity”. Dua wakil, satu dari pemerintah dan satu dari Māori, ditunjuk sebagai wali sungai. 


Bayangkan: di sana, air tidak hanya mengalir di bawah hukum; ia diakui sebagai bagian dari hukum itu sendiri. Inilah paradigma ecological personhood, di mana hukum bukan lagi menundukkan alam, tetapi berdialog dengannya. Bandingkan dengan Indonesia, yang justru menghukum manusia karena membela alamnya.Di Aotearoa, mereka memberi hak hukum kepada sungai Namun bandingkan dengan Indonesia: sekalipun negara ini secara normatif telah memberi hak kepada setiap orang untuk memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 66 UU PPLH dan diperkuat oleh Putusan MK Nomor 119/PUU-XXIII/2025, hak itu justru dikerdilkan — bahkan dikebiri — oleh pengadilan umum.


Kasus sebelas masyarakat adat Maba menjadi bukti paling getir: ketika mereka membela hutan, negara membalasnya dengan vonis bersalah; ketika mereka menjaga kehidupan, hukum justru mencabut kehidupan sosial mereka. Inilah ironi yang menelanjangi kesadaran kita: bahwa di negeri lain, hukum memberi hak kepada sungai agar manusia belajar rendah hati kepada alam, sementara di negeri ini, manusia dihukum karena terlalu setia menjaga hutan. “Negara maju” rupanya bukan diukur dari banyaknya gedung pengadilan, tetapi dari sejauh mana hukum mampu berempati — bukan hanya kepada rakyatnya, tetapi juga kepada bumi dan leluhur yang menjadi saksi sejarah keberadaannya. 


Jika Waitangi Tribunal di Selandia Baru adalah contoh bagaimana hukum dapat menjadi ruang penyembuhan (law as healing), maka peradilan di Indonesia masih sering menjadi ruang penghakiman (law as punishment). Hukum di sana menjadi mekanisme rekonsiliasi antara negara dan masyarakat adat; hukum di sini menjadi alat represi untuk memisahkan mereka dari tanah leluhur. 


Dalam konteks masyarakat adat Maba Sangaji, mestinya negara dapat mencontoh model pengakuan Māori ini. Bukan berarti kita harus meniru secara buta, melainkan mengadopsi semangat ko-governance — kemitraan sejajar antara negara dan masyarakat adat dalam menjaga alam. Sebab jika sungai di Selandia Baru bisa menjadi “subjek hukum”, mengapa hutan adat di Maluku Utara hanya dianggap sebagai “barang bukti”? 


Perbandingan ini membuka luka lama kita sendiri: bahwa Indonesia masih menempatkan masyarakat adat sebagai “objek pembangunan”, bukan mitra kebangsaan. Padahal Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dengan terang menyebut: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup...” Namun, pengakuan itu berhenti di atas kertas. Yang hidup di lapangan bukanlah penghormatan, melainkan kecurigaan. Negara memperlakukan masyarakat adat seperti tamu tak diundang di rumahnya sendiri, sementara pengusaha diberi karpet merah. 


Selandia Baru, setelah berabad-abad menindas Māori, akhirnya sadar bahwa rekonsiliasi bukan kelemahan, tetapi kekuatan moral. Indonesia masih gagap untuk sampai ke sana. Mungkin karena di sini, negara masih menganggap permintaan maaf sebagai ancaman, bukan kebajikan.


Jika di ekuador ada faham Pachamama maka di Inndonesia sendiri  ada “Ibu Pertiwi”, adalah yang paling sakral. Ia bukan sekadar simbol nasionalisme, melainkan pengakuan kultural bahwa tanah ini adalah sosok yang harus dicintai, dirawat, dan dibela layaknya seorang ibu. Dan kalau tanah air ini disebut ibu, maka tak ada logika yang membenarkan seseorang dihukum karena membela ibunya sendiri. Betapa ganjil sebuah negara yang bangga menyanyikan lagu “Ibu Pertiwi” di setiap upacara, namun di saat yang sama memenjarakan anak-anak Ibu Pertiwi yang menjaga napasnya di hutan-hutan adat Maba. Apakah cinta pada ibu kini juga harus melalui izin negara? Lihatlah bagaimana dunia lain sudah bergerak: 


Di Selandia Baru, sungai diberi hak hukum; di Kolombia, Hutan Amazon diakui sebagai entitas hukum; bahkan di India, Sungai Gangga diangkat sebagai “legal person.” Namun di Indonesia, yang diberi “hak hukum” justru korporasi tambang, bukan hutan yang mereka rusak. Ironi ini menampar kita dengan keras: bahwa di negeri yang katanya menjunjung keadilan sosial, yang diadili justru para penjaga kehidupan. 


Jangankan memberi hak kepada alam, atau sekadar bergeser dari konsep natural rights menuju the rights of nature, yang terjadi justru sebaliknya — negara malah membungkam para pelindung kehidupan itu sendiri: sebelas masyarakat adat Maba yang berdiri di garis depan menjaga napas bumi. Maka, apa yang perlu dilakukan bukan sekadar pembelaan di ruang sidang, tetapi restorasi moral terhadap hukum itu sendiri. Hukum harus kembali berpihak pada kehidupan, bukan pada izin eksploitasi. Hukum harus menjadi lidah bagi mereka yang dibungkam, bukan borgol bagi mereka yang bersuara. Dan bila negara gagal memahami makna keadilan ekologis, maka rakyatlah yang harus mengingatkannya — dengan suara, dengan tulisan, dengan perlawanan yang bermartabat. 


Kemarahan ini bukan dendam; ini adalah bentuk cinta yang paling murni. Cinta pada bumi yang diperlakukan seperti barang, cinta pada hukum yang dirampas maknanya, cinta pada manusia yang dijadikan korban oleh sistem yang mereka biayai dengan pajak dan kesetiaan. Dan karena cinta itulah kita menulis, bersuara, dan melawan. Sebab diam di hadapan ketidakadilan, sama halnya dengan menyetujui kehancuran. Dan kita— anak-anak negeri ini — terlalu mencintai tanah dan lautnya untuk diam. ***

  • Ketika Hutan Hijau Dihabisi di Atas Meja Hijau: Ironi Hukum dalam Kasus 11 Masyarakat Adat Maba Sangaji
  • 0

Terkini