Oleh : Bung Opickh
(Penulis Buku)
Kali ini, saya ingin berbincang tentang eksistensi manusia dan Lompatan pikiran. Ada banyak hal yang kita anggap simpel dan tak perlu dibahas, padahal dalam ilmu filsafat dimulai dari pertanyaan-pertanyaan terhadap apa yang ada dihadapan kita termasuk diri kita sendiri. Misalnya apa itu manusia? Kenapa kita hidup, apa itu kehidupan dan mengapa kita harus berpikir rasional?
Sepele bagi mereka yang tak mau berpikir kritis tapi dalam bagi mereka yang berpikir. Kata Carl Gustav Jung " berpikir itu sulit, karenanya banyak orang tak mau berpikir". Minum kopinya dulu kawan, biar pikiran dan hati tak sentimen terhadap orang lain. Mari kita menjawab pertanyaan diatas, hemat saya, "manusia adalah makhluk yang istimewa", sebab ia bisa berpikir dan memiliki hati.
Karena itu, manusia bisa melahirkan karya, bisa berpolitik, membentuk negara, menciptakan teknologi dan bermanfaat manusia lain serta lingkungan sekitarnya. Kata Aristoteles manusia itu, "Zoon Politicon" makhluk politik, atau makhluk sosial yang bisa berpolitik. Artinya manusia bisa rapat, bisa berpartai, bisa memilih pemimpin dan bisa di atur apa yang perlu dilakukan dan apa yang tidak perlu. Berbeda dengan Sapi, Kambing, Kodok, Soa-Soa dan sejenisnya.
Mereka tak bisa rapat dan tak bisa baku atur apalagi menyatukan persepsi. Itu alasan logis bahwa manusia adalah makhluk politik dan rasional. Dalam filsafat eksistensialisme Sartre dan Heidegger memandang bahwa "manusia adalah makhluk yang eksis, memiliki kebebasan untuk memilih, dan bertanggung jawab atas keberadaannya sendiri". Sementara menurut pemikir Islam al-Farabi dan al-Ghazali memandang manusia sebagai makhluk yang terdiri dari jiwa dan raga, dengan jiwa sebagai pusat kesadaran dan kecerdasan.
Lalu bagaimana dengan lompatan berpikir manusia? Sebelum era renaisans atau abad pencerahan pikiran manusia masih terkungkung dalam pemikiran dogmatis, indoktrinasi, mitologis dan dotinisasi (sihir). Orang kebanyakan terkesima dengan cerita-cerita dongeng tentang kekuasaan yang menghamba pada bebatuan, patung, gunung dan bahkan tentang kerajaan di atas langit seperti dalam film Avatar.
Meski tak rasional tetapi ia subur tumbuh dan langgeng untuk mengkultuskan sang pemimpi dalam periodik yang sangat panjang. Pemikiran yang rasional dan logis dianggap gagap dan tabuh saat itu. Misalnya Socrates dan Plato yang sering mengajak orang-orang berdiskusi, saling tanya jawab dengan "teori Dialektis" untuk mencari kebenaran dan pengetahuan dalam mendorong manusia untuk mempertanyakan nilai dan norma yang ada.
Kemudian tentang "teori idea" atau teori bentuk. Bahwa dunia yang kita lihat hanyalah bayangan dari dunia bentuk yang lebih nyata dan abadi adalah "dunia idea". Setiap saat mereka berdua hadir untuk mencerahkan masyarakat di pasar, di ruang-ruang publik lainnya dan di lorong-lorong kota Athena. Akhirnya Socrates berakhir dengan kematian yang tragis hanya karena pikirannya yang rasional.
Hal yang serupa juga telah dilakukan oleh beberapa filsuf kala itu, dengan mempropagandakan gagasan-gagasan kritis. Seperti Thales dengan gagasan "air adalah arkhe yang berarti prinsip atau asas utama alam dari terciptanya semesta". Protagoras dengan konsep "manusia adalah tolak ukur dari segala sesuatu". Aristoteles dengan konsep "manusia adalah animal rationale atau hewan yang berpikir rasional".
Dalam Islam, Al-Kindi menekankan bahwa berpikir atau belajar adalah proses yang radikal untuk pengembangan individu dan masyarakat. Ia percaya bahwa pemikiran rasional, pengalaman empiris dan transmisi pengetahuan dari generasi ke generasi adalah pilar utama dalam memperoleh pengetahuan. Al-Farabi berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membimbing tiap-tiap individu ke arah kesempurnaan hidup.
Sebab Keberadaan manusia di dunia hanya semata-mata untuk mendapatkan kebahagiaan dan kesempurnaan tertinggi. Sementara Ibnu Sina, "akal mempunyai dua sifat, yaitu sifat wajib wujud pancaran dari Tuhan dan sifat mungkin wujud, jika ditinjau dari hakikatnya (Nasution:35). Kalimatnya yang melegenda "Kebahagiaan sejati adalah menolong orang lain".
Dalam perjalanan di abad Pencerahan gerakan intelektual dan filosofis mulai tumbuh subur dan mendominasi Eropa pada abad ke 17-18. Masa itu juga dikenal sebagai Aufklarung dengan istilah "Sapere Aude" yang berarti “Beranilah berpikir sendiri”. Slogan ini dicetuskan oleh Immanuel Kant, adalah filsuf yang mengajak orang-orang untuk semakin berani dan bebas menggunakan akalnya.
Rene Descartes dengan gagasan "Ego cogito, ergo sum" yang berarti "aku berpikir, maka aku ada". Descartes menggunakan metode keraguan sistematis untuk meragukan semua hal, termasuk keberadaan dunia fisik. Bahwa keberadaan seseorang terikat dengan proses berpikirnya. Jika seseorang berpikir, maka ia ada. Ini menunjukkan bahwa pikiran adalah sumber utama identitas dan eksistensi.
Dari fase Renaissance kita mendapatkan karpet merah terhadap Lompatan berpikir yang transendental. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat dan teknologi yang semakin canggih kala itu di Inggris: dari lentera ke listrik, gerobak ke mobil, perahu ke kapal dan sebagainya. Tetapi yang paling spesial adalah manusia menyadari betapa pentingnya keadilan, kesejahteraan sosial dan eksistensinya.
Sekitar abad 19, Eropa diguncang dengan sebuah pemikiran kritis, putra asal Jerman Karl Marx, mengkritisi terhadap sistem pendidikan kapitalis yang ia anggap mempertahankan ketidaksetaraan kelas dan melegitimasi kekuasaan borjuis. Meskipun pikirannya terfokus pada filosofis ekonomi tetapi ada gagasan tajam tentang pemikiran kritis dalam bukunya "Manifesto Komunis" dan "Das Kapital". Marx percaya bahwa pendidikan harus menjadi alat pembebasan, bukan pemeliharaan status quo.
Yang ditandai dengan revolusi Prancis dengan konsep "Egalite, Liberté, Fraternite" Persamaan, Kebebasan, Persaudaraan dalam demokrasi. Di Brasil abad 20, Paulo Freire, menekankan bahwa pendidikan hendaknya berbasis pada kesadaran kritis dan pembebasan kaum tertindas. Dengan konsep "conscientização" atau kesadaran kritis, di mana individu menyadari ketidakadilan dan bertindak untuk mengubahnya.
Beberapa bukunya yaitu "Pendidikan Kaum Tertindas dan Politik Pendidikan". Pengaruh pemikiran Paulo Freire di Indonesia, terhadap pendidikan begitu kental seperti pedagogi dan pendidikan inklusif, kritis, dan berfokus pada pembebasan. liberating education dan "dialog" telah menginspirasi banyak pendidik dan aktivis di Indonesia hingga saat ini.
Di Indonesia sendiri ada beberapa tokoh yang terkenal dengan pemikiran rasional dan kritis. Pertama yaitu Tan Malaka. Ia adalah orang pertama yang menulis konsep "Republik Indonesia". Lalu dikenang sebagai "Bapak Republik Indonesia". Kemudian Bung Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir, Ki Hajar Dewantara, KH Ahmad Dahlan dan Bung Tomo kritis dan militan. yang juga merupakan tokoh-tokoh pelopor bangsa.
Karena itu, manusia hendaknya menjunjung tinggi rasionalitas dan eksistensinya sebagai makhluk yang bebas. Bebas berbicara tapi tak boleh kocak, bebas mengkritik tapi tak boleh sentimen dan bebas berekspresi tapi tak boleh pukul falo, apalagi tikam-menikam. Itu tak boleh.
Pesan dari tulisan ini, teruslah menjadi orang yang selalu berbuat baik, bermanfaat bagi orang sekitar. Kalau menjadi pemimpin jadilah yang bijaksana, membelah kebenaran, menegakkan keadilan dan mendistribusikan kesejahteraan sosial. Sebab hanya satu tiket menuju surga yaitu kebaikan, bukan tiket kapal Geovani atau pesawat Garuda. *