Sofyan Muhlis
Sinarmalut.com, Tidore - Kritik Syarif Abdullah, Ketua Gerakan Pemuda Ansor Provinsi Maluku Utara terhadap Pandangan Ishak Naser pada beberapa media online, mendapat respon dari Pemuda Mafututu, Kecamatan Tidore Timur, Kota Tidore Kepulauan.
Dikutip dari sejumlah pernyataannya, Syarif Abdullah mengatakan realisasi penyaluran DBH itu tetap harus memperhatikan kemampuan keuangan daerah dan skala prioritas pelayanan publik.
"Itu pendapat yang ngawur dan tidak mendasar," timpal Sofyan Muhlis, ketika dihubungi, Selasa, (22/4/2025).
Sofyan bilang sebagai pemimpin organisasi besar di Provinsi Maluku Utara, semestinya Syarif lebih banyak membaca regulasi dan data sebelum disampaikan ke publik.
"Atas dasar apa pernyataannya terkait DBH memperhatikan kemampuan keuangan daerah dan skala prioritas pelayanan publik?", harus jelas alas kebijakannya, jangan sekedar berwacana," tegas Sofyan.
Di tengah polemik utang DBH yang belum dilunasi Pemprov ini, lanjut Sofyan, Ketua GP Ansor semestinya bicara regulasi dan data, jangan terkesan memaksakan diri memihak dan melindungi Gubernur.
Sofyan yang juga pegawai PPPK Kota Tidore Kepulauan bilang, jika sumber penerimaan provinsi yang berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU), maka itu adalah hak provinsi untuk menentukan prioritas penggunaannya. "Mau dibayar di 2 kabupaten saja, mau beli skincare, atau mau bayar pesawat haji reguler, itu terserah kuasanya Ibu Gubernur," ujar Sofyan.
Sebaliknya, kalau sumber penerimaan berasal dari Pajak Daerah yang dipungut di kabupaten/kota, maka wajib hukumnya provinsi menyalurkan kembali sesuai porsinya. " Itu Perintah Undang Undang 28 Tahun 2009 Pasal 94, sebagaimana yang sudah disempurnakan dengan UU HKPD,” ujarnya.
Sofyan menegaskan, kalau ada pungutan pajak di 10 kabupaten/kota, maka Pemprov harus membagi rata ke masing-masing daerah tersebut. Sebab itu adalah uang rakyat mereka yang harus dikembalikan.
“Sekali lagi, soal DBH ini tidak ada carita memperhatikan kemampuan keuangan dan prioritas, karena ini bukan dana pusat atau dana provinsi, tetapi ini dana pajak yang dipungut dari kabupaten kota, untuk disalurkan saja. Jadi kalau DBH tidak disalurkan ke kabupaten/kota, maka bisa diduga sudah dipergunakan secara "gelap" oleh Pemprov Maluku Utara. DBH Itu uang pajak daerah, jangan dipakai provinsi atas alasan apapun,” singgungnya.
Sambung Sofyan, kalaupun ada usulan melakukan audit internal terhadap DBH provinsi, semestinya jangan dibuka ke publik. Hal itu mekanisme pengawasan internal yang menjadi wewenang Gubernur. Karena jangan sampai menambah panjang kebobrokan pengelolaan keuangan provinsi.
“Saran saya, pemprov membayar DBH menggunakan belanja tidak terduga. Kalau berdasar PP 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, memungkinkan pembayaran DBH menggunakan belanja tidak terduga, karena situasi mendesak,” pungkasnya. *