Sinarmalut.com, Morotai - Pamflet seruan menolak kedatangan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, ramai berseliweran di Kabupaten Pulau Morotai. Seruan ini dimotori langsung DPD II KNPI Kabupaten Pulau Morotai.
Ketua Organisasi Kaderisasi dan Pengkaderan DPD KNPI II Pulau Morotai, Fijai Ali, mengatakan, Pulau Morotai bukan sekadar bentangan tanah di ujung utara Nusantara. Ia adalah rumah sejarah, napas kehidupan nelayan, dan simbol kehormatan rakyat yang hidup dari laut, tanah, dan keringatnya sendiri.
Sebagai organisasi kepemudaan, kata Fijai, Dewan Pengurus Daerah Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPD KNPI) Kabupaten Pulau Morotai, menyatakan sikap tegas atas rencana kedatangan Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, pada Rabu, 15 Oktober 2025 mendatang, dalam agenda kunjungan ke Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
"Kami menilai bahwa kunjungan tersebut tidak memiliki urgensi bagi rakyat Morotai. Ia hadir dalam bingkai seremoni dan simbolisme, sementara luka sosial, ekonomi, dan agraria rakyat belum pernah benar-benar diperhatikan. Morotai bukan tempat pertunjukan politik pembangunan semu. Di tanah ini, rakyat masih berhadapan dengan konflik batas tanah antara TNI AU dan masyarakat, kasus agraria yang melibatkan PT. Jababeka, serta ancaman tambang pasir besi di Morotai Jaya yang mengintai masa depan lingkungan dan keberlanjutan hidup rakyat pesisir," ucap Fijai Ali, Ketua Organisasi Kaderisasi dan Pengkaderan DPD KNPI II Morotai, Minggu (12/10/2025).
Menurut Fijai, kedatangan Wapres tanpa solusi konkret terhadap penderitaan rakyat hanyalah pembodohan publik dan pengkhianatan terhadap makna pembangunan itu sendiri.
“Apa arti KEK jika nelayan tidak berdaulat atas lautnya? Apa makna investasi jika rakyat kehilangan tanahnya? Apa makna kunjungan pejabat jika ia hanya menyisakan jejak debu di bandara, tanpa meninggalkan kebijakan yang berpihak?” ujar Fijai.
Oleh karena itu, lanjut Fijai, DPD KNPI Kabupaten Pulau Morotai menyatakan sikap sebagai berikut. Pertama; menolak kedatangan Wakil Presiden Republik Indonesia ke Pulau Morotai apabila hanya bersifat simbolik dan tidak menyentuh kepentingan rakyat secara nyata. Kedua; mendesak Pemerintah Pusat untuk segera menyelesaikan konflik agraria antara TNI AU dan masyarakat Morotai, sebelum berbicara tentang investasi dan pembangunan KEK. Ketiga; menolak keras rencana tambang pasir besi di Morotai Jaya yang berpotensi merusak lingkungan dan menghancurkan kehidupan nelayan.
Keempat, meminta Pemda Morotai untuk segera mengintervensi sektor perikanan dan harga ikan rakyat, agar tidak terjadi ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan dalam rantai produksi lokal. Kelima, mengajak seluruh elemen pemuda, mahasiswa, dan masyarakat Morotai untuk bersatu menjaga tanah kelahiran ini dari segala bentuk kepentingan elit yang merugikan rakyat, serta menumbuhkan mosi tidak percaya terhadap kekuasaan yang mengabaikan suara rakyat.
"Dengan demikian, kami percaya bahwa Morotai bukan sekadar nama di peta pembangunan, tetapi nurani bangsa yang menolak tunduk pada kepentingan sesaat. Pemuda Morotai akan terus berdiri di antara laut dan langit, di antara luka dan harapan, menjaga tanah ini dengan keberanian dan cinta," tandasnya. *